Sekolah Alam Banyuwangi Siswa ke Sekolah Membawa Sayur


MAHALNYA biaya pendidikan mulai tidak dirasakan sebagian masyarakat Kecamatan Genteng, Banyuwangi, dan sekitarnya. Di tengah melambungnya kebutuhan sekolah, warga setempat memperoleh fasilitas sekolah murah dan terjangkau biayanya. Meski disuguhi kualitas belajar bermutu, para siswa hanya dipungut iuran dalam bentuk sayuran.

Inilah Sekolah Alam Banyuwangi yang terletak di Desa Genteng Wetan. Sekolah unik yang juga dikenal sebagai ‘Sekolah Sayur’ itu masih sebatas tingkat SMP. Meski baru berdiri dua tahun, sekolah ini cepat menarik perhatian warga. Biayanya sangat murah, nyaris tidak ada pungutan. Siswa hanya dibebani membawa sayuran ketika masuk sekolah.

Tercatat 21 siswa yang menuntut ilmu di sekolah itu sekarang ini. Mereka kebanyakan warga di sekitar sekolah. Sisanya, datang dari beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Lokasi bangunan sekolah alam ini berada di pinggir bendungan besar. Luas kompleknya sekitar 1 hektar.

Awalnya, banyak tudingan miring muncul. Kebanyakan mereka mencibir sekolah itu sebagai tidak berkualitas. Tetapi, fakta berkata lain. Justru siswa sekolah ini memiliki kemampun yang jarang dimiliki siswa sekolah lain, yakni kemampuannya berkomunikasi dalam tiga bahasa, Inggris, Arab, dan Jepang.

Proses belajar-mengajarnya menggunakan metode pondok pesantren. Para siswa wajib tinggal di asrama. Sistem itu cukup jitu dan mampu membentuk pribadi yang disiplin. Buktinya, para siswa dengan mudah menyerap ilmu pelajaran, sekaligus aktif menerapkan ilmu yang didapat.

Siswa diajari hidup berswadaya atau mandiri. Mereka menyiapkan makanan hingga memasaknya sendiri. Inilah metode sekolah alam, kata Anik Wahyuni, salah seorang gurunya.

Berdirinya sekolah alam dipelopori dua tokoh masyarakat. Salah seorang di antaranya, guru senior Mohamad Farid. Sekolah alam berdiri secara swadaya dan kini sudah mengantongi sertifikat resmi dari Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.

Ide awalnya hanya menolong warga yang tak mampu menyekolahkan anaknya di SMP. Modal utamanya berkorban untuk sesama. Tak mengherankan jika tenaga pengajar tidak mendapatkan honor yang pantas, meski kebanyakan mereka tamatan perguruan tinggi berkualitas. Kami beramal. Biar Tuhan yang akan membalas, tutur Anik yang juga guru Bahasa Jepang itu.

Metode sekolah sayur sedikit meniru sekolah alam gagasan Gus Dur di Ciganjur. Bedanya, di Banyuwangi siswa hanya dipungut sayuran, yang akan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari para siswa. Kebutuhan alat tulis dan fasilitas lain sepenuhnya datang dari donatur. Tercatat ada beberapa donatur besar.

Sepintas, sekolah alam ini mirip bangunan sebuah kafe. Bangunan kuno itu memang bekas tempat hiburan malam. Karena kosong, akhirnya dipinjamkan gratis untuk sekolah alam.

Saat masuk, pengunjung akan menemukan sebuah perkebunan hijau yang asri. Semua itu hasil kreasi para siswa. Ternyata, kawasan mirip kebun wisata itu menjadi tempat out bond bagi siswa.

Sebagaimana sekolah umum, SMP alam menerapkan persyaratan pendidikan umumnya. Di samping itu, para siswa dibekali mata pelajaran pesantren lebih dalam. Siswa juga diajari materi pengembangan pribadi. Para guru selalu menekankan bagaimana hidup mandiri dan mengamalkan ilmu yang didapat, ujar Anik.

Tiap akhir pekan, para siswa diberi jatah pulang sehari. Saat kembali ke asrama, mereka wajib membawa sayuran. Jumlahnya disesuaikan kemampuan masing-masing. Hampir seluruh siswa dari kalangan petani. Akibatnya, sumbangan sayur selalu menumpuk.

Saat calon siswa mendaftar, diwajibkan membawa sebatang pohon yang akan ditanam di lokasi sekolah. Tujuannya, mengingatkan siswa pentingnya penghijauan. Itu juga simbol “ditanamnya” siswa di sekolah alam. Bagi siswa yang memiliki ternak, dibolehkan menyumbangkannya.

Ternak itu dipelihara di asrama. Hasilnya digunakan untuk menambah biaya operasional sekolah, termasuk untuk kebutuhan makan sehari-hari siswa.

Jika sekolah alam muncul di tiap kota, persoalan mahalnya biaya pendidikan tidak akan terjadi lagi. Tiap warga bisa mengenyam pendidikan dasar gratis seperti yang diharapkan pemerintah. -udi


Dilarang Pacaran Teman Sekolah

BERSEKOLAH di SMP alam di Genteng Wetan, tidak membuat para siswanya merasa minder. Seperti yang dialami Nurul Khotimah, siswa kelas 3. Dia mengaku senang bersekolah di sini.

Pada awal masuk sekolah, kebanyakan siswa memang sempat merasa rendah diri. Apalagi, lokasi sekolahnya terpencil dan jauh dari kegiatan masyarakat. Membayar dengan sayuran nyaris menurunkan semangatnya belajar. Bayar sayur, mana bisa pintar, ungkap Nurul menirukan kritik teman-temannya.

Lambat-laun perasaan minder hilang. Siswa bersemangat untuk belajar. Tiap hari siswa mendapat jatah belajar hingga 19 jam. Siswa wajib bangun pukul 03.00, dilanjutkan sembahyang dan mendengarkan ceramah. Kemudian, diikuti kegiatan olahraga dan kegiatan lainnya.

Mereka tidak boleh berkeliaran.
Hampir 60% pendidikan sekolah alam ditekankan pada bidang agama. Sisanya, mata pelajaran umum. Siswa istirahat terakhir pukul 22.00. Suasana lingkungan sekolah yang alami menambah semangat para siswa untuk menimba ilmu.

Selama belajar, mereka ditemani sejuknya udara dari arah perkebunan sekolah. Suasana terasa kian nyaman berkat suara air gemericik yang datang dari bendungan raksasa dekat sekolah.

Hal yang membanggakan siswa adalah kemahirannya berbahasa asing. Tiap hari siswa wajib menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi. Kami tidak pernah menggunakan Bahasa Jawa dan Indonesia. Semuanya bahasa asing, Arab, Inggris dan Jepang, ujar gadis asal Kalibaru, Banyuwangi Barat, itu.

Kebiasaan berbahasa asing membawa berkah bagi para siswa. Mereka sering diundang sekolah negeri untuk menjadi pembimbing bahasa. Biasanya, undangan datang seminggu sekali.

Mereka juga diberi jatah waktu mengajar di sekolah favorit. Kami kan bangga, dari sekolah sayuran bisa mengajar sekolah yang bayarnya mahal, cetus Nurul sambil tersenyum.

Siswa diwajibkan membuat kelompok belajar. Saat pulang kampung mereka wajib mengamalkan ilmunya. Mereka hidup dengan gaya sederhana. Hal itu terlihat saat makan, pada pakaian yang dikenakan, dan kesenangan lainnya. Ketika makan, siswa dijatah sesuai porsi masing-masing.

Siswa menyiapkan makanan sendiri dengan dibantu juru masak. Tugas masak bergilir.
Mereka dilarang keras berpacaran satu sama lain. Waktu luang diisi berbagai kegiatan tambahan, seperti olahraga, melukis dan keterampilan lain. Tak sedikit pun waktu dibiarkan berlalu tanpa kegiatan berarti. –udi



Sumbangkan Kambing dan Ayam

BAGI kalangan warga tak mampu, sekolah alam adalah salah satu alternatif solusinya. Dengan biaya murah, mereka bisa menyekolahkan anak dengan hasil berkualitas. Alasan inilah yang membuat sebagian orangtua melirik sekolah alam ini.

Pada awal anaknya masuk, para orangtua juga sempat minder. Hal itu diungkapkan Romzini, salah seorang orangtua murid. “Sekolah kok hanya membayar pakai sayur, apa bisa berkualitas?”

keraguannya dalam hati.
Rasa kecil hati itu musnah setalah anaknya bersekolah dan pulang membawa hasil. Bahasa Inggrisnya lancar dan mampu mengaji dengan cepat.

Ia menuturkan, sejak masuk di sekolah alam, anaknya tidak banyak tingkah. Ketika pulang kampung, mereka mampu mengajari teman-temannya berbahasa Inggris.
Biaya murah, hasil maksimal.

Itulah prinsip yang dicari para orangtua umumnya saat ini, khususnya mereka yang petani. Mereka hanya perlu menyediakan sayuran.

Orangtua siswa yang memiliki rezeki lebih, ada yang menyumbangkan kambing atau ayam ke pihak sekolah. Jika musim panen, mereka mengirimkan sayuran dalam jumlah besar. Semuanya mereka lakukan dengan semangat kekeluargaan.

Memasukkan anak ke sekolah alam harus punya jiwa tulus dan pasrah. Ibaratnya, mereka menyerahkan anaknya untuk digodok dalam kawah condra dimuka sebelum terjun ke masyarakat.
B
anyak wali murid berharap kelak ada sekolah alam hingga tingkat SMA dan perguruan tinggi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel